Saya ingin membuka
tulisan ini dengan sebuah pertanyaan menarik—meminjam istilah dari dapur
tetangga—bagaimana ber-NU secara kafah di tengah dinamika kelompok dan sosial
dewasa ini? Apakah dengan cara mempertahankan keklasikkan (diksi ini sengaja
dipilih untuk menjauhi kata “kolot” yang disematkan pada warga nahdliyin) atau dengan
serta-merta tampil sebagai “kaum modern” untuk membuktikan bahwa stigma itu
salah? Tentunya, kedua hal tersebut bukanlah pilihan yang bijak.
Lantas bagaimana
solusinya?
Menurut penulis jawabannya
sederhana, yaitu “ber-NU dengan komposisi yang pas”. Hanya dengan cara itulah
kita bisa menjadi NU yang baik di tengah dinamika sosial dan kelompok saat ini.
Perlu diingat bahwa tujuan didirikannya organisasi NU adalah untuk merespons
wahabisasi. Sebab, pada waktu itu, para tamu Allah yang hendak melaksanakan
ibadah haji tidak diperkenankan kecuali mereka mau mengikuti tata cara yang
ditentukan oleh penguasa baru.

Dengan kata lain, penyederhanaan
terhadap NU di atas mengacu pada sikap NU yang sejak awal–dalam dinamika agama
(NU vis a vis wahabi) serta dinamika berbangsa dan bernegara (NU vis
a vis penjajah dan PKI)—memosisikan diri sebagai jam’iyyah yang moderat dan tidak terombang-ambing arus,
baik kanan maupun kiri. Adapun dasar argumen penulis tersebut adalah adagium
klise “al-muhafadzah ’ala al-qadim al-salih wa al-akhdz bi al-jadid al-aslah”.
Pesan tersirat dari kutipan ini ialah “seyogianya kaum nahdliyin menjaga tradisi untuk menyongsong modernitas”.
***
Sudah selayaknya kader
NU yang rata-rata alumni pesantren dan tersebar di berbagai belahan dunia memperkaya
diri dengan khazanah pemikiran modern. Jangan pandang bulu. Nggak mbois
bila kita enggan membaca buku A atau B hanya karena karya-karya itu hasil pemikiran
para orientalis. Sebagai insan modern, membaca semua literatur tanpa memandang
“merk” adalah keniscayaan. Khazanah keilmuan yang dipelajari selama mondok di pesantren merupakan modal yang
kuat untuk menjadi pembaca yang kritis. Bahkan, kader NU juga harus bisa
menyimbiosiskan kedua khazanah pemikiran, klasik-pesantren dan modern sehingga
melahirkan pemikiran khas intelektual NU. Bukankah Islam Nusantara juga hasil racikan
”resep” seperti ini? Bedanya, Islam Nusantara merupakan anak kandung dari
perkawinan (baca: simbiosis mutualisme) antara budaya lokal dan substansi Islam.
Itulah pentingnya mempertemukan
dua khazanah pemikiran yang berbeda dan masing-masing memiliki latar belakang
yang berbeda pula. Sebab, kita tidak bisa mempertahankan “keklasikkan”
terus-menerus dan anti terhadap “kemodernan.” Sebaliknya, kita juga tidak bisa
menjadi modern secara membabi buta tanpa berpijak pada tradisi.
Jika kita hanya
memilih yang pertama, maka kita adalah orang jumud yang tak mau keluar dari tempurung. Sedangkan apabila kita
memilih yang kedua namun melupakan yang pertama, maka kita hanya menciptakan
kemodernan yang rapuh. Tidak perlu berpanjang kalam kiranya karena poin
terakhir sudah dijelaskan dalam tesis yang ditawarkan oleh Ibn Khaldun, “Tanpa berpijak pada tradisi, kita tidak bisa
menyambut modernisasi. Generasi yang tercerabut dari akar rumput, tak lebih
dari bunga dalam vas; mudah layu dan tak akan berkembang subur.”
Dari uraian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa ber-NU secara kafah
di tengah pelbagai dinamika adalah dengan cara menjadi penganut Islam Nusantara
yang inklusif, yaitu terbuka terhadap berbagai wacana, baik klasik maupun modern
bahkan yang ter-up to date sekalipun.
Dengan kata lain, sebagai kader NU, kita harus mempertahankan “tradisi” sebagai
jati diri sekaligus berani mengadopsi “kebaruan”. Keharusan berpijak pada kedua
hal ini akan lebih kuat jika kita tinjau dari segi pendekatan sitaksis. Dalam
tata bahasa arab, “wawu athaf” berfungsi menunjukkan makna
pertemuan secara absolut (mutlaq al-jam’i). Namun pada kesempatan ini, penulis
memakai pisau analisis lain—teori Chomsky—untuk ”membedah” kalimat di atas,
yaitu on binding theory. Dalam teori ini, “wawu” berfungsi sebagai pengikat makna. Maka, untuk menjadi
nahdliyin yang kafah, seluruh kader NU harus menjaga tradisi dan megadopsi
hal-hal yang baru. Melakukan kedua hal tersebut hukumnya adalah fardu ain (tidak boleh hanya
dikerjakan salah satu).
Oleh karena itu,
orientasi mempertahankan tradisi serta mengadopsi kemodernan dalam segala
bidang harus tetap dilestarikan. Modernitas tersebut kita jadikan sebagai
penyeimbang tradisi seperti yang dilakukan bangsa Jepang dengan menghapus
politik isolasi pasca Restorasi Meiji. Di sinilah kemampuan kita diuji untuk
menemukan tolok ukur atas komposisi tradisi dan kemodernan sehingga warga nahdliyin
bisa tetap survive di tengah dinamika sosial-keagamaan. Memang hal ini
kedengarannya mudah, namun sangat sulit untuk dipraktikkan, bukan?*) sunber: Tatwirul Afkar, April 2016.
EmoticonEmoticon